Deretan Panjang Daftar Pembantaian Warga Gaza oleh Israel

Juni 29, 2025
Sejarah genosida di Gaza oleh Israel tak pernah berhenti sejak 1948 dalam peristiwan Al Nakba. Sejak perang pertama pasca-pendirian negara Israel yang tak diakui oleh Palestina, jalur Gaza selalu menjadi kawasan paling rentan di Timur Tengah. Dimulai dari Perang Arab-Israel 1948, lebih dari 200.000 warga Arab diusir atau melarikan diri ke Gaza. Sejak saat itu, kawasan sempit tersebut berubah menjadi kantong pengungsian permanen dan titik awal ketegangan berkepanjangan.

Pasca-perang, muncul gelombang infiltrasi warga Palestina yang mencoba kembali ke kampung halamannya, sering kali berujung bentrokan senjata. Insiden demi insiden yang disebut insurgency ini memakan ratusan korban jiwa di kedua pihak sepanjang 1949–1956. Ketegangan memuncak saat Israel untuk pertama kalinya menduduki Gaza pada 1956 dalam operasi militer terkait Krisis Suez. Lebih dari seribu warga Palestina tewas, ribuan lainnya mengalami penyiksaan dan penahanan.

Situasi semakin buruk pada 1967 ketika Perang Enam Hari pecah. Israel kembali merebut Gaza. Lebih dari 45.000 warga Palestina terusir, dan hampir seluruh fasilitas pendidikan yang dikelola PBB di Gaza hancur. Kondisi ini melahirkan resistensi bersenjata dan insurgensi skala kecil yang berlangsung hingga awal 1970-an. Israel menahan sekitar 10.000 warga Gaza tanpa proses hukum di periode itu.

Periode 1979–1983 ditandai dengan meningkatnya konflik tiga pihak antara Israel, nasionalis Palestina, dan kelompok Islamis yang mulai berpengaruh. Meskipun data korban sulit dilacak, periode ini menandai peralihan resistensi Gaza dari laskar tradisional ke gerakan terorganisir yang lebih ideologis. Puncaknya terjadi di akhir 1987, ketika Intifada pertama meletus. Lebih dari 500 warga Palestina tewas, puluhan ribu luka-luka, dan Gaza benar-benar berubah menjadi kawasan konflik terbuka.

Gelombang Intifada kedua yang meletus pada 2000 memperburuk kondisi. Sekitar 3.000 warga Palestina meninggal dalam rentang waktu lima tahun, sementara infrastruktur Gaza terus mengalami kerusakan berat. Israel memperketat blokade dan pembangunan pemukiman Yahudi di sekitar Gaza tetap berlangsung. Meski sempat menarik pasukan secara resmi pada 2005, Israel tetap melakukan operasi militer berulang ke wilayah itu.

Pada 2008, Perang Gaza pertama meletus. Serangan Israel selama tiga pekan menghancurkan lebih dari 46.000 rumah, 214 sekolah, dan 52 tempat ibadah. Sekitar 100.000 warga Gaza kehilangan tempat tinggal. Serangan ini menuai kecaman dunia internasional, namun tidak mampu menghentikan siklus kekerasan yang terus berulang di tahun-tahun berikutnya.

Tahun 2012, konflik kembali meledak. Serangan udara Israel menewaskan lebih dari 100 warga sipil Gaza. Rumah-rumah, masjid, klinik, dan sekolah menjadi target. Dampaknya, ratusan keluarga kembali menjadi pengungsi di wilayah yang sejak lama telah padat dan miskin fasilitas dasar. Upaya gencatan senjata kerap dilakukan, namun tak pernah bertahan lama.

Tahun 2014, Perang Gaza terburuk sepanjang sejarah terjadi. Lebih dari 2.200 warga Palestina tewas dalam serangan 50 hari. Sekitar 520.000 warga, atau 30 persen penduduk Gaza, terpaksa mengungsi. Seperempat kota Gaza rata dengan tanah, dan sebagian besar fasilitas publik hancur. Krisis kemanusiaan memburuk, sementara embargo Israel atas Gaza tetap diberlakukan.

Di tahun 2021, bentrokan kembali pecah dipicu ketegangan di Masjid Al-Aqsa. Sebanyak 128 warga Gaza tewas, ribuan rumah hancur, dan lebih dari 100.000 orang kembali mengungsi. Infrastruktur vital seperti sekolah dan rumah sakit ikut jadi sasaran. Meski pertempuran usai dalam hitungan pekan, luka sosial dan ekonomi Gaza kian menganga.

Konflik terbaru pada 2023 menjadi salah satu yang paling brutal. Serangan Israel yang dimulai Oktober lalu telah menewaskan lebih dari 46.000 warga Gaza. Data terbaru menyebut angka korban bisa mencapai 70.000 lebih. Serangan menyasar wilayah padat penduduk, rumah sakit, hingga fasilitas pengungsi. Ribuan tentara Israel juga dilaporkan tewas dalam pertempuran darat yang berlangsung intens di beberapa wilayah.

Dalam lebih dari tujuh dekade, perang Gaza–Israel telah menewaskan puluhan ribu jiwa, menghancurkan infrastruktur, dan memaksa jutaan warga hidup sebagai pengungsi. Sejarah mencatat setiap kali gencatan senjata diumumkan, hanya menjadi jeda sementara sebelum konflik berikutnya meletus.

Wilayah Gaza kini menjadi kawasan dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia, di tengah kemiskinan dan embargo yang belum dicabut sepenuhnya. Perang-perang yang terjadi bukan hanya soal perebutan wilayah, tapi juga persoalan kemanusiaan, identitas, dan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.

Seiring perkembangan situasi politik global dan dukungan negara-negara Arab yang terus dinamis, masa depan Gaza masih abu-abu. Namun satu hal yang pasti, setiap perang meninggalkan generasi baru anak-anak yang tumbuh dalam trauma, di balik reruntuhan sekolah, rumah sakit, dan masjid.

Upaya damai kerap kandas di meja diplomasi. Israel tetap menuntut pengakuan atas keberadaan negara Yahudi tanpa kompromi soal pengungsi Palestina. Sementara Gaza, di bawah kepemimpinan berbagai faksi, tetap memegang prinsip mempertahankan hak kembali ke tanah air mereka.

Konflik Gaza–Israel menjadi salah satu konflik berkepanjangan terburuk abad modern. Dari 1948 hingga kini, jalur Gaza tak pernah benar-benar mengenal perdamaian. Deretan perang yang terus bertambah menjadi catatan gelap sejarah Timur Tengah.

Perjalanan sejarah Gaza adalah kisah tentang penjajahan, pengusiran, perlawanan, dan penderitaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Meski berkali-kali porak-poranda, Gaza tetap berdiri, meski dalam kepedihan, di antara reruntuhan dan api peperangan.

Nasib Industri Antariksa Suriah Paska Pemerintahan Transisi

Juni 25, 2025
Suriah, sebuah negara yang pernah mencatat sejarah dengan mengirimkan kosmonotnya ke luar angkasa melalui Uni Soviet, kini menghadapi jalan terjal dalam merajut kembali benang ambisi antariksa. Proyek luar angkasa, yang sempat menjadi kebanggaan nasional, terhenti oleh gejolak internal dan perubahan lanskap geopolitik yang drastis. Tantangan di masa depan bukan hanya sekadar teknis, melainkan juga politis dan finansial, menuntut pendekatan strategis yang inovatif dan adaptif.

Program antariksa Suriah, yang kini di bawah pengawasan Kementerian Komunikasi dan Teknologi, berhadapan dengan realitas pahit. Infrastruktur riset yang ada saat ini dianggap belum memadai untuk kembali mengembangkan riset antariksa secara penuh. Prioritas negara bergeser, dan alokasi dana untuk proyek-proyek ambisius seperti peluncuran satelit menjadi tidak realistis dalam kondisi ekonomi yang masih merangkak.

Meski demikian, kantor yang menaungi Badan Antariksa Suriah memiliki potensi besar untuk bertransformasi. Alih-alih menjadi pusat riset langsung, lembaga ini dapat berperan sebagai regulator dan fasilitator utama. Peran ini memungkinkan Badan Antariksa Suriah untuk menjadi motor penggerak inovasi di universitas-universitas lokal, mendorong mereka untuk mengembangkan teknologi yang relevan dengan kebutuhan antariksa.

Kolaborasi ini bisa meliputi berbagai bidang vital. Pengembangan teknologi satelit menjadi salah satu area yang paling menjanjikan, dimulai dari satelit kecil atau CubeSat yang lebih terjangkau. Selain itu, inovasi dalam perangkat lunak untuk analisis data satelit, pemodelan orbital, dan simulasi antariksa sangat dibutuhkan, membuka peluang bagi para insinyur perangkat lunak Suriah.

Robotika juga menjadi bidang yang krusial, terutama untuk eksplorasi dan pemeliharaan di luar angkasa di masa mendatang. Pengembangan drone dan robot untuk aplikasi terrestrial dengan potensi adaptasi ke lingkungan luar angkasa bisa menjadi langkah awal yang strategis. Ini memberikan kesempatan bagi para mahasiswa dan peneliti untuk mengasah kemampuan mereka dalam teknologi mutakhir.

Hubungan kerja sama dengan Rusia, yang sempat terjalin erat dengan penandatanganan kesepakatan penelitian antariksa dan penginderaan jauh pada tahun 2016, kini berada dalam ketidakpastian. Terbentuknya pemerintahan transisi di Suriah berpotensi mengganggu atau bahkan mengubah arah kemitraan strategis ini. Kondisi geopolitik yang dinamis menuntut Suriah untuk mencari alternatif dan memperluas jaringan kerja sama.

Melihat ke depan, peluang kerja sama dengan negara-negara di kawasan Teluk menjadi sangat menjanjikan. Beberapa negara Teluk telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam program antariksa mereka, memiliki sumber daya finansial, dan menunjukkan keinginan untuk berkolaborasi dalam proyek-proyek ilmiah dan teknologi. Ini bisa membuka pintu bagi transfer pengetahuan, pendanaan bersama, dan bahkan partisipasi dalam misi antariksa regional.

Pengalaman ilmuwan Palestina dari Gaza yang terlibat dalam misi Mars NASA, khususnya dalam pengembangan helikopter drone, menjadi inspirasi berharga. Kisah ini membuktikan bahwa keterbatasan geografis dan politik tidak menghalangi para talenta untuk berkontribusi pada proyek antariksa global yang ambisius. Suriah dapat belajar dari pendekatan ini, mendorong partisipasi individu dan tim kecil dalam proyek-proyek internasional.

Pembentukan Badan Antariksa Suriah pada 18 Maret 2014, di tengah hiruk-pikuk Perang Saudara Suriah, menunjukkan tekad pemerintah untuk tidak sepenuhnya melupakan ambisi antariksa. Ini adalah langkah awal yang penting, meskipun kondisi saat itu jauh dari ideal untuk memulai program skala besar. Keberadaan badan ini menjadi fondasi hukum dan administratif bagi upaya-upaya di masa mendatang.

Kesepakatan dengan Roscosmos pada 19 Agustus 2016, yang ditandatangani oleh Dr. Osama al-Ammar dari pihak Suriah dan Igor Komarov dari Rusia, merupakan momen penting. Ini menggarisbawahi komitmen untuk kerja sama dalam penelitian antariksa dan penginderaan jauh, yang sangat vital untuk pemantauan lingkungan, pertanian, dan perencanaan kota di Suriah.

Menteri Komunikasi dan Teknologi Suriah, Iyad Khatib, pada 11 Desember 2018, menegaskan kembali pentingnya mengembangkan "peta jalan untuk program antariksa Suriah" dan meluncurkan satelit buatan pertama ke orbit Bumi. Pernyataan ini mencerminkan visi jangka panjang, meskipun implementasinya menghadapi banyak rintangan praktis.

Apabila dibandingkan dengan program antariksa Irak, Suriah dapat mengambil pelajaran berharga. Irak pernah berambisi meluncurkan satelitnya sendiri dengan proyektor Al-Abid LV, sebuah proyek sipil yang dimulai pada 1988. Kendaraan peluncur tiga tahap ini dirancang berbasis rudal Scud dan S-75 Dvina, namun hanya tahap pertamanya yang berhasil diuji pada Desember 1989.

Menurut Jenderal Ra'ad, tahap kedua dan ketiga dari Al-Abid tidak pernah dikembangkan lebih lanjut, dan bahkan gambar desainnya pun tidak tersedia. Kegagalan ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan besar dalam mengembangkan kemampuan peluncuran antariksa dari nol, terutama di tengah keterbatasan teknologi dan sumber daya.

Pengalaman Irak ini menjadi pengingat bahwa ambisi besar harus diiringi dengan fondasi teknis yang kuat, investasi yang berkelanjutan, dan lingkungan politik yang stabil. Suriah dapat memfokuskan upaya awalnya pada pengembangan satelit kecil dan kemampuan penginderaan jauh, sebelum mencoba melangkah ke pengembangan kendaraan peluncur yang jauh lebih kompleks dan mahal.

Di tengah segala tantangan, potensi inovasi di Suriah tetap ada. Dengan dorongan dan regulasi yang tepat dari Badan Antariksa, universitas-universitas dapat menjadi pusat inkubasi bagi ide-ide baru. Kompetisi dan hibah penelitian dapat memicu kreativitas di kalangan mahasiswa dan dosen, menciptakan ekosistem inovasi yang dinamis.

Membangun kembali program antariksa Suriah bukan hanya tentang teknologi, melainkan juga tentang pembangunan kapasitas manusia. Investasi dalam pendidikan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika) sangat penting untuk mencetak generasi baru ilmuwan dan insinyur yang mampu memimpin upaya antariksa di masa depan.

Kemandirian dalam teknologi antariksa akan memberikan Suriah kontrol lebih besar atas data dan informasi penting untuk pembangunan nasional.

Penginderaan jauh, misalnya, dapat digunakan untuk memantau kerusakan akibat konflik, mengelola sumber daya air, dan meningkatkan hasil pertanian, yang semuanya sangat vital bagi pemulihan negara.

Meskipun meluncurkan kosmonot sendiri seperti di masa lalu mungkin masih jauh, fokus pada pengembangan aplikasi antariksa yang praktis dan kolaborasi internasional dapat menjadi jalan yang lebih realistis dan berkelanjutan bagi Suriah. Langkah-langkah kecil namun strategis akan membangun momentum dan kepercayaan diri.

Peran diaspora Suriah yang tersebar di seluruh dunia, banyak di antaranya adalah ilmuwan dan insinyur berbakat, juga tidak boleh diabaikan. Mereka dapat menjadi jembatan untuk transfer pengetahuan dan teknologi, serta memfasilitasi kerja sama dengan institusi-institusi antariksa global. Mengajak mereka berkontribusi pada pembangunan kembali negara adalah aset yang tak ternilai.

Pada akhirnya, masa depan program antariksa Suriah akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi, menarik investasi, dan menjalin kemitraan strategis. Meskipun jalan yang terbentang penuh tantangan, sejarah telah membuktikan bahwa Suriah memiliki potensi untuk bangkit dan kembali merangkul bintang-bintang.

 
Copyright © Porsea Online. Designed by OddThemes